Monday, July 23, 2007

Trick, Deceit, Fraud (Post 1 of 2)

Dua pengamen cilik bermain di Bundaran Hotel
Anak JalananAntara Ditipu dan Menipu... Telah kulihat betapa malang anak jalanan. Setiap hari kerja cari uang. Demi masa depan. Demi cita-cita Wasjayakirana (17) melantunkan lagu tersebut diiringi dengan petikan gitar yang dimainkannya sendiri. Lagu itu yang dinyanyikannya setiap hari di perempatan-perempatan lampumerah, di atas bus
kota, ketika ia sedang sendiri, atau saat bersama teman-teman sesama pengamen jalanan.
Saya baru berumur tujuh tahun saat dibawa ibu ke Jakarta. Waktu itu kami berenam, ibu, saya, dan empat kakak-kakak saya. Begitu sampai di Jakarta, ternyata janji teman-teman ibu untuk memberikan pekerjaan tak ada yang ditepati. Kami sekeluarga terdampar di kawasan uningan. Ibu jadi pengemis dan kami menghuni kolong jembatan layang Kuningan," kata Jaya, panggilan akrab Wasjayakirana, Sabtu (14/7).

Jaya merupakan salah satu dari ribuan anak jalanan di Jakarta. Saat ditemui Sabtu lalu, Jaya sedang berada di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Ia datang ke Tugu Proklamasi setelah mendengar di tempat itu sedang diadakan Festival Budaya dan Temu Rasa Anak Pinggiran Merdeka se-Jabodetabek, 13-15 Juli. Ia terlihat bosan melihat acara melukis bersama anak jalanan dan acara-acara lain yang diselenggarakan panitia. Ia pun memilih kembali bermain gitar bersama 3-4 temannya. Selama ini, mereka hidup tidak menentu dan sering menginap di
jalanan, khususnya di kawasan Guntur, Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Jaya bertutur, ia masih dalam kandungan ketika ayahnya, buruh tani bawang merah di Bulakamba, Brebes, Jawa Tengah, meninggal. Ibunya meneruskan pekerjaan sebagai buruh tani sampai akhirnya terbuai mimpi meraih kekayaan di Ibu Kota.
Selama dua tahun pertama di Jakarta, mengawali kehidupan buruk terpaksa dijalaninya. Sejak umur tujuh tahun itu, ia adalah anak sekaligus aset dan alat mencari uang bagi keluarganya. Sebenarnya, nasib sama dialami keempat saudaranya dan juga ibunya. Di kolong jembatan itu, Jaya belajar mengamen. Dari hanya berbekal tepukan tangan, kaleng berisi pasir yang dikocok-kocok, hingga gitar kecil. Berhari-hari ia berkeliling Jakarta ikut bus hingga ke Pulo Gadung dan penjuru Ibu Kota dan tidak pulang ke ibunya. Kemarahan terus menggantung di hati dan otaknya, tidak dapat menerima kehidupan buruk itu.
Tepat ketika ibunya merasa mampu menyewa rumah petak kecil di tengah perumahan kumuh di Setiabudi, Jaya justru memutuskan lari dari keluarganya. Ia menyatu dengan teman- teman
pengamen di Guntur. Di sini, ia berjumpa dengan anak pelarian asal Palembang, Medan, orang-orang dari kampung asalnya, termasuk dari Indramayu hingga Serang, Banten, juga cukup banyak dan mendominasi kelompok Guntur. Komposisi seperti itu juga dilihatnya dalam kelompok-kelompok anak jalanan lain di Jakarta.
Ia berumur 10 tahun waktu itu, dan selama lima tahun berikutnya tidak pernah berjumpa dengan keluarganya. "Benar-benar hidup di jalanan. Tidak jelas. Setiap hari mengamen, merokok, ditipu orang, menipu orang, dan mencopet. Hampir semua hal-hal buruk pernah saya lakukan. Jadi korban dan jadi pelaku," kata Jaya.

Ia dan teman-temanya berulang kali ditangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Mereka biasanya dibawa paksa ke panti sosial di Kedoya, Jakarta Barat. Di panti ini, jika masuk dengan pakaian lengkap plus sepatu, dipastikan keluar hanya dengan kaus dalam dan sandal jepit.
Menurut Jaya, selain diperlakukan kasar oleh petugas panti, ia juga harus menghadapi preman-preman sesama anak jalanan yang sering merampas uang dan barang berharga lainnya milik
penghuni panti. Ia jadi terbiasa menerima pukulan di kepala, dada, perut, dan kaki. "Petugas panti pernah memberi nomor telepon dan menyuruh menghubungi jika ada kejadian apa-apa
saat di jalan. Namun, saat saya dirampok dan dipukuli orang di Senen, mereka tidak pernah
datang menolong. Saya bosan dengan janji-janji mau diselamatkan," kata Jaya.
Perlakuan kasar tidak berhenti di pemukulan atau perampasan saja. Meski tidak mengatakan dirinya juga korban, tetapi anak laki-laki di jalanan juga tidak luput dari obyek perilaku seks menyimpang. Terutama bagi anak jalanan perempuan, kekerasan seksual adalah hal yang biasa. "Saya berumur delapan tahun saat dibawa oleh om-om yang ketemu di jalan di Tanah Abang. Itu pertama kali saya mengalaminya. Jijik sekali dan takut. Mau lapor, lapor ke mana?" kata Watini (14). Watini tampak seperti gadis remaja umumnya. Wajahnya ceria dan aksesori gelang plastik warna biru menghiasi pergelangan tangan kiri. Kalung warna senada melingkar di lehernya. Di balik pakaian lusuhnya, ia masih bisa tersenyum manis. Watini tidak mampu menghitung, tetapi bukan sekali itu saja ia mendapat perlakuan tidak senonoh. Dalam sehari, minimal ia harus menerima colekan iseng sopir mikrolet, pemulung, atau sesama teman
pengamen. Perempuan kecil ini kini memilih berkumpul dengan orang-orang yang telah ia akrabi dengan harapan akan lebih aman dan terlindungi.
Ia mengaku tidak tahu dari mana asalnya. Seingatnya, ia sudah menggelandang di sekitar Tanah Abang sejak kecil. Hanya ada ibunya dan seorang adik laki-laki yang kini berusia lima tahun. Mereka bertiga kadang bersama-sama mengemis dan mengamen. Ia belum pernah bersekolah dan buta huruf. Ia tidak tahu akan seperti apa hidupnya nanti. Saat ditanya cita-citanya, ia hanya ingin punya uang banyak dan sewa rumah sendiri.
Tulisan dikutip dari sini

No comments:

Post a Comment

You're welcome, drop your comments here...

Note: Only a member of this blog may post a comment.