Thursday, April 2, 2020

Lelaki, Suami dan Ayah

Pemandangan ini mungkin akrab bagi kita. Di depan pintu rumah seorang pria berpamitan kepada istrinya, anak-anaknya dan orang-orang yang dicintainya. Degup jantung mereka berdentum lebih cepat dan lebih kencang dari biasanya. Ada perasaan kehilangan baik bagi yang meninggalkan atau ditinggalkan. Bagi anak-anak yang sudah agak besar mungkin akan sangat terasa, beberapa bulan ke depan atau mungkin satu tahun ke depan mereka akan hidup tanpa ayahnya. Bagi sang istri akan hidup tanpa suaminya, dan lebih parah lagi bagi sang suami, ia akan hidup tanpa anak dan istrinya.

Atas "izin" istri suami meninggalkan anak dan istrinya, untuk mencari nafkah bagi dirinya istri dan anaknya.

Hari demi hari berjalan. Bulan demi bulan berlalu. Ada perbedaan sangat signifikan bagi kedua belah pihak, pihak sang lelaki dan pihak istri + anak.

Sebagai laki-laki, suami dan ayah lalu ia bekerja, setelah menyisishkan penghasilan untuk keperluan dasarnya lalu mengirimkan uang hasil kerjanya untuk istri dan anaknya. Setiap akhir pekan ia akan menelpon istri dan anak-anaknya. Yang di satu sisi membuatnya bahagia di sisi lain mengingatkannya betapa jauhnya jarak antara ia dengan istri dan anak-anaknya.

Bukan laki-laki namanya kalau tiddak bisa menahan resiko seperti itu, bekerja dan terpisah cukup jauh dari keluarganya. Tapi juga disebut laki-laki jika ia punya rasa rindu. Rindu pada istri dan anak-anaknya. 

Di sinilah saya beralasan bahwa laki-laki itu hebat. Bandingkan yang ia dapat. Ia hanya dapat uang dari hasil kerjanya sendiri. Sementara istri selain mendapat uang dari hasil kerja suaminya, ia juga mendapatkan kedekatan dengan anak-anak.

Jangan dianggap ringan jika terpisah jauh dari anak beberapa bulan. Saya pernah merasakan, bahwa segala bentakan, larangan yang pernah terlontar pada anak-anaknya akan sangat disesalinya. Bisa jadi selain penyesalan, tangisan pun bisa terjadi. Laki-laki pun bisa menangis.

Bukan...bukan karena saya laki-laki sehingga mengatakan laki-laki  lebih hebat dari wanita. Bukan pula menggugat laki-laki lebih tidak enak dibandingkan perempuan, dalam ruang lingkup kehidupan rumah tangga. Tapi dalam konteks cerita ini, saya bisa mengatakan seandainya bisa mencari nafkah dan tetap bersama dengan keluarga, itu adalah pilihan terbaik yang akan mereka ambil.

Sering saya melihat, seorang laki-laki duduk ditaman sambil menunjukan foto anak-anaknya pada rekan di sebelahnya, terlampau sering saya melihat seorang laki-laki duduk di bawah pohon sambil melihat foto anak-anaknya yang ia simpan dalam telepon genggamnya, sering pula dengar pernyataan, "kalau saja bukan karena uang dan masa depan anak-anak saya akan pulang dan menemui anak dan istri".

Berapa lama mereka akan seperti itu? Terpisah jauh fisik dan perasaan. Hanya pasangan masing-masing yang bisa menjawab.