Friday, September 21, 2007

I Want To Be Like Dad

Sebuah kisah, Suatu hari suami saya rapat dengan beberapa rekan bisnisnya yang kebetulan mereka sudah mendekati usia 60 tahun dan dikaruniai beberapa orang cucu. Di sela-sela pembicaraan serius tentang bisnis, para kakek yang masih aktif itu sempat juga berbagi pengalaman tentang kehidupan keluarga di masa senja usia.Suami saya yang kebetulan paling muda dan masih mempunyai anak balita, mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, dan untuk itu saya merasa berterima kasih kepada rekan-rekan bisnisnya tersebut. Mengapa?Inilah kira-kira kisah mereka. Salah satu dari mereka kebetulan akan ke Bali untuk urusan bisnis, dan minta tolong diatur tiket kepulangannya melalui Surabaya karena akan singgah ke rumah anaknya yang bekerja di sana. Di situlah awal pembicaraan "menyimpang" dimulai. Ia mengeluh, "Susah anak saya ini, masak sih untuk bertemu bapaknya saja sulitnya bukan main." "Kalau saya telepon dulu, pasti nanti dia akan berkata jangan datang sekarang karena masih banyak urusan. Lebih baik datang saja tiba-tiba, yang penting saya bisa lihat cucu."Kemudian itu ditimpali oleh rekan yang lain. "Kalau Anda jarang bertemu dengan anak karena beda kota, itu masih dapat dimengerti," katanya. "Anak saya yang tinggal satu kota saja, harus pakai perjanjian segala kalau ingin bertemu." "Saya dan istri kadang-kadang merasa begitu kesepian, karena kedua anak saya jarang berkunjung, paling-paling hanya telepon."Ada lagi yang berbagi kesedihannya, ketika ia dan istrinya mengengok anak laki-lakinya, yang istrinya baru melahirkan di salah satu kota di Amerika. Ketika sampai dan baru saja memasuki rumah anaknya, sang anak sudah bertanya, "Kapan Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia?" "Bayangkan! Kami menempuh perjalanan hampir dua hari, belum sempat istirahat sudah ditanya kapan pulang."Apa yang digambarkan suami saya tentang mereka, adalah rasa kegetiran dan kesepian yang tengah melanda mereka di hari tua. Padahal mereka adalah para profesional yang begitu berhasil dalam kariernya.Suami saya bertanya, "Apakah suatu saat kita juga akan mengalami hidup seperti mereka?" Untuk menjawab itu, saya sodorkan kepada suami saya sebuah syair lagu berjudul Cat's In the Cradle karya Harry Chapin. Beberapa cuplikan syair tersebut saya terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia agar relevan untuk konteks Indonesia.Serasa kemarin ketika anakku lahir dengan penuh berkah. Aku harus siap untuknya, sehingga sibuk aku mencari nafkah sampai 'tak ingat kapan pertama kali ia belajar melangkah. Pun kapan ia belajar bicara dan mulai lucu bertingkahNamun aku tahu betul ia pernah berkata,"Aku akan menjadi seperti Ayah kelak" "Ya betul aku ingin seperti Ayah kelak" "Ayah, jam berapa nanti pulang?" "Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"Ketika saat anakku ulang tahun yang kesepuluh;Ia berkata, "Terima kasih atas had iah bolanya Ayah, wah ... kita bisa main bola bersama. Ajari aku bagaimana cara melempar bola" "Tentu saja 'Nak, tetapi jangan sekarang, Ayah banyak pekerjaan sekarang" Ia hanya berkata, "Oh ...." Ia melangkah pergi, tetapi senyumnya tidak hilang, seraya berkata, "Aku akan seperti ayahku". "Ya, betul aku akan sepertinya""Ayah, jam berapa nanti pulang?""Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"Suatu saat anakku pulang ke rumah dari kuliah; Begitu gagahnya ia, dan aku memanggilnya, "Nak, aku bangga sekali denganmu, duduklah sebentar dengan Ayah" Dia menengok sebentar sambil tersenyum, "Ayah, yang aku perlu sekarang adalah meminjam mobil, mana kuncinya?" "Sampai bertemu nanti Ayah, aku ada janji dengan kawan" "Nak, jam berapa nanti pulang?" "Aku tak tahu 'Yah, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama"Aku sudah lama pensiun, dan anakku sudah lama pergi dari rumah; Suatu saat aku meneleponnya."Aku ingin bertemu denganmu, Nak "Ia bilang, "Tentu saja aku senang bertemu Ayah, tetapi sekarang aku tidak ada waktu. Ayah tahu, pekerjaanku begitu menyita waktu, dan anak-anak sekarang sedang flu. Tetapi senang bisa berbicara dengan Ayah, betul aku senang mendengar suara Ayah"Ketika ia menutup teleponnya, aku sekarang menyadari; Dia tumbuh besar persis seperti aku; Ya betul, ternyata anakku persis seperti aku.Rupanya prinsip investasi berlaku pula pada keluarga dan anak. Seorang investor yang berhasil mendapatkan return yang tinggi, adalah yang selalu peduli dan menjaga apa yang diinvestasikannya.
Saya sering melantunkan cuplikan syair tersebut dalam bahasa aslinya,"I'm gonna be like you, Dad, you know I'm gonna be like you",

I Want My Son To Be Like You !


Oleh : Neno Warisman - 'Izinkan Aku Bertutur'

Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannyadengan mengkhatam kan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya iamenjadi penghafal Kitabullah ya,Yah."Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidakberapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berduasangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jagomatematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidangMatematika. Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan.Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamadjadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya,dan ia menjadi amat mudah marah.Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedangmenyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu.Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:"Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!"Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu."Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!"
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku.Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendongayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriakmenghentak, "Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!" Dengan kasardisorongkannya bayi mungil itu.Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayiini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istridanseorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlahtangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya.Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: "Dulu kauhempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak iamerangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuksekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.
Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu dipunggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengokseorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketikaseorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka,tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diambagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak bolehberputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepadaAhmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun takmerasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan merekaberdua, "Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang takmampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelakiyang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuksebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia.
Tak akanpernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang,ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasadan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk berubah.Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: "Takada kata terlambat untuk mulai, Sayang."Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama,bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambiltertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia,dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan.Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukurpada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampakbuntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi.aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, alhamdulillah