Friday, September 21, 2007

I Want My Son To Be Like You !


Oleh : Neno Warisman - 'Izinkan Aku Bertutur'

Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannyadengan mengkhatam kan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya iamenjadi penghafal Kitabullah ya,Yah."Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidakberapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berduasangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jagomatematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidangMatematika. Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan.Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamadjadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya,dan ia menjadi amat mudah marah.Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedangmenyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu.Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:"Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!"Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu."Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!"
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku.Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendongayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriakmenghentak, "Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!" Dengan kasardisorongkannya bayi mungil itu.Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayiini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istridanseorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlahtangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya.Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: "Dulu kauhempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak iamerangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuksekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.
Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu dipunggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengokseorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketikaseorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka,tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diambagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak bolehberputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepadaAhmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun takmerasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan merekaberdua, "Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang takmampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelakiyang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuksebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia.
Tak akanpernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang,ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasadan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk berubah.Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: "Takada kata terlambat untuk mulai, Sayang."Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama,bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambiltertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia,dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan.Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukurpada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampakbuntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi.aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, alhamdulillah